Selasa, 21 Januari 2020

Cerita Senja di Gunung Sindoro 3150 MDPL

Lereng Sindoro Banaran Ndoro Arum


Sejak siang tadi langkah kami pun mulai bergerak perlahan. Dengan beban yang tak biasa kami bawa, kami berjalan bersama. Sesekali tangan kami menyibak tebalnya rerumputan yang bergoyang saat diterpa angin sore itu. Mereka seakan mengajak kami bercanda karena mungkin itu adalah pertemua pertama kalinya dengan sang penghuni lembah dan tebing hijau. Berayun dan berayun soalah kejemuan kami terhilangkan dengan desir daun-daun cemara yang merdu. Dalam pecahnya hening itu sayup terdengar suara-suara merdu dari ranting cemara yang bersautan, dan mereka siap ke singga sana bersama senja mentari kala itu.

Perlahan kami pun tertatih dalam punggung yang semakin terasa berat. Meski agak gontai kami pun tetap melangkahkan kaki untuk bisa berpindah dari satu bukit ke bukit yang lain. Pakaian kami pun juga sudah mulai basah dan bau keringat yang keluar dari pori-pori kami. Debu yang menempel sesekali kami usap untuk sekedar membersihkan supaya tidak terlihat lebih rapi dan tampan, karena di sana ada pujaan kami yang sebentar lagi kami temui. Ya Dialah sang pencipta dunia ini yang sudah menjadi kewajiban kami untuk menemuinya lima kali dalam satu hari. Lima menit bertemu dengan beliau rasanya sudah cukup membuat kami bertambah semangat untuk kembali kami langkahkan kami kembali pada jalan setapak yang tak terasa semakin meninggi.

Tibalah kami di sebuah hamparan ilalang hijau yang sedikit menguning. Ada sebatang pohon yang belum terlalu tua yang dimangsa keganasan badai di sebelah barat gunung Sindoro ini. Melihat empuk dan tebalnya ilalang itu, kami pun tidak sabar untuk rebahan, duduk dan bercengkrama dengan teman-teman kami. Kelakar teman kamipun memecahkan suasana sepi di sore itu. Tertawa lepas kami membuat beban punggung kami hilang sejenak yang membuat kami lebih terasa segar kembali. Aroma ilalang itu mengingatkan kembali ke masa kecilku yang saat saya ke ladang. Mencari rumput di siang bolong yang tidak pernah kami membawa air minum. Ilalang inilah yang menyelamatkan rasa haus kami, perlahan kami korek tanah yang gembur untuk kami ambil akar-akar ilalang yang sudah menua. Sebesar lidi dan beruas seperti tebu atau pohon jagung, akar ilalang ini terasa manis semanis senja ini.

Kembali kami langkahkan kaki kami memijak bukit yang sedikit curam yang kanan kirinya berlembah dalam. Sedikit keringat kami seka dengan tangan kami yang mulai lusuh kembali. Bukit ini terasa semakin mengoyak tenaga kami disaat kami harus merangkak dari satu ke pijakan yang lebih tinggi. Sayup terdengar pula penghuni malam di Gunung Sindoro sisi barat ini mulai melirihkan suaranya. Tidak dapat kami pilih suara mana yang paing merdu diantaranya. Mereka mengalun begitu saja menghiasi heningnya senja itu. Tidak perlu birama yang berlebihan dimana mereka bernyanyi dengan merdunya. Paling tidak inilah musik alami kami sepanjang senja itu.

Ufuk barat sana terlihat mulai menguning keemasan. Mentari yang tadinya begitu menyengat wajah kami mulai pudar panasnya. Begitu sayu senja itu meski diantaranya ada wajah-wajah seri kami yang dari tadi sudah menunggunya. Lautan awan tadi yang memutihpun juga ikut mengubah warnanya yang menjadi keemasan yang terkadang di sela-sela awan itu ada siluet mentari senja itu. Perlahan mentari itu menepi dengan senyum manisnya. Dimana waktu yang bersamaan kamipun berkampiun untuk membidik sebuah moment yang memang mahal untuk dilupakan begitu saja.

Sekali dua kali kami mencoba untuk membidik moment yang berharga itu, segala pose kami coba untuk menjadikan rasa puas kami. Memang bentukmu kali ini memang sempurna, serta auramu sungguh menggoda kepada siapapun yang menatapmu. Termasuk saya yang tiada henti saya harus menahan rasa ku untuk memilikimu. Sesaat kamupun menghilang diiringi bias rona merah di senja itu dengan penuh kelembutan. Sejenak kamipun sedikit berbincang dengan hasil yang kami dapatkan seolah ingin menjadi yang terbaik diatara terbaik SUN SET nya.

Senja itu semakin pekat manakala sang mentari benar-benar sudah tidak bersahabat lagi dengan kami, hanya bias sinar yang dipantulkan oleh bintang pada senja itu mulai menghiasi pekatnya malam. Rembulan juga belum nampak seolah enggan untuk menyambut kedatangan kami di malam itu. Kami menjadi semakin menggigil saat perjalanan kami benar-benar diambang batas tenaga kami. Kami sudah mulai pudar harapan untuk bisa bertemu sang mertua meski dia sangat galak namun nyatanya dia memang sangat bersahabat. 

Mertua Idaman
Tunda kami dengan sang mertua akhirnya kami simpuhkan kepala kami semalaman dibawah hutan lamtoro yang sangat rindang. Begitu melindungi kami dalam sepoi-sepoi dinginnya malam itu. Cengkarama kami akhir hilang dengan sendirinya saat nafas kami tertinggal dengan dengkuran untuk menghiasi malam yang sunyi dengan jutaan gemintang di langit tanpa batas. Kerlap-kerlipnya selalu kami rindukan untuk sekedar memberikan warna di senja Gunung Sindoro.

2 komentar

  1. Ternyata, keindahan yang sebenarnya bukan dilihat dari bentuk atau wujud tapi terlihat cara kita melihat suatu keindahan yang diberikan Tuhan yang maha esa

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe betul kakak, yang penting kita bisa menikmati alam ini tanpa harus merusaknya supaya cucu kita kelak bisa menikmatinya

      Hapus


EmoticonEmoticon