Jumat, 24 Januari 2020

Mendaki Merapi Bersama Orang yang Indigo

Pitek Walik Penghuni Pasar Bubrah
Perjalanan ke 13 kami ke Merapi kali ini terasa spesial sekali. Kamipun juga berasal dari tempat yang jauh jaraknya. Saya sendiri dari Salatiga, sementara teman kami ada yang dari Jawa Timur, Jakarta, Magelang dan Semarang. Satu hari sebelum hari H kami sepakat untuk bertemu di Basecamp Barameru di Selo dengan pengelola Bang Gimar Merapi. Al Hasil hari itu, saya datang lebih awal di basecamp karena jarak saya yang paling dekat dengan Barameru. Kira-kira pukul 5 sore hari akhirnya sudah lengkap rombongan kami sampai di Barameru. 

Sejenak kami persiapan sholat maghrib dan makan malam sebelum kami memulai pendakian kami. Tepat pukul 19:00 WIB kami mulai perjalanan kami mendaki Gunung Merapi dengan ketinggian 2963 MDPL. Diringi dengan cuaca cerah dan bintang dilangit yang sangat terlihat jelas membuat kami ingin segera bergegas melangkahkan kak kami. Pada lahan datar tidak jauh dari basecamp sebelum New Selo, kami berhenti untuk berdoa untuk keselamatan kami selama pendakian. 

Perjalanan kami agak terhambat saat teman kami tiba-tiba mual-mual perutnya sebelum mendekati pos bayangan satu di gapuro nya. Benar saja akhirnya makan malam dia terbuang dengan percuma karena dia mutah-mutah sampai lemas. Kami hanya mengira bahwa dia mabuk gunung saja karena faktor psikis yang biasa di dataran rendah dan naiknya pada malam hari. Tentunya ini membutuhkan adaptasi yang cukup lama untuk bisa mengatur ritme langkah kaki dan ritme detak jantung kita, meski kita sudah sering kali naik gunungpun kita akan merasakan hal yang sama. 

Mungkin karena dia adalah seorang angkatan kepolisian, jadi saya tidak ragu untuk melanjutkan perjalanan kami, meskipun pelan namun akhirnya kami sampai juga di Shelter 1 waktu itu. Cukup lama kami singgah di sana. Sudah pukul 21:00, akhirnya kami melanjutkan perjalan kami menuju ke Shelter II. 

Di pertengahan jalan menuju shelter II saya melihat teman saya merasakan ke anehan, dia banyak menyendiri dan agak jauh dari rombongan. Tatapan yang sedikit kosong membuat saya sedikit bertanya, ada apa dengan orang ini. Awalnya saya menunggu dia dan menyilahkan teman-teman lain untuk bergegas menuju ke Shelter II. Disitulah kami mulai percakapan kami, 
Saya: '' Gimana Brew masih kuat untuk sampai ke atas kan, '' tanyaku
Brew: '' Insyaallah kuat pak mister (cara dia panggil saya)
Saya: Syukurlah, kalau begitu, hanya aku ada sedikit aneh dengan tingkah laku mas brew dari tadi, ada apa?
Brew : (sambil tersenyum) gak apa-apa pak mister insyaallah semua baik-baik saja.
Saya: Yakin... (dengan sedikit rasa penasaran)
Brew: Ia pak mister...percaya wes sama aku. 

Kami pun melangkahkan kaki kami kembali untuk menuju Shelter II yang sesekali menatap kota Boyolali yang kerlap kerlip lampunya membuat semakin indah dilihat dari ketinggian. Di belakang kamipun Gunung Merbabu tidak segan-segannya menampakkan pesonanya pada malam yang dingin itu. Akhirnya di bawah shelter II kami beristirahat sejenak dan kami mengeluarkan makanan yang kami punya untuk mengganjal perut kami yang mulai lapar.
Saya: Brew... ini kue nya, ayo silahkan dimakan.
Brew: ''Iya makasih pak mister.
Saya: ''Ia sama-sama,'' Kataku. (tiba-tiba dia membisikkan saya dia melihat sesuatu)
Brew: Pak mister, merasa aneh gak di tempat ini?
Saya: ''Aneh....ehhmmm enggak kok, biasa wae kang brew, lah gimana?
Brew: ''Mosok toh gak ada rasa aneh sedikitpun?
Saya: Tidak brew.. lah ada memang, (aku mulai bertanya-tanya, sejauh ini setiap saya naik ke Merapi tidak pernah mengalami hal-hal yang aneh kecuali melihat sepasang ayam putih mulus di Pasar Bubrah, itu yang aneh bagi saya)
Brew: Di atas kita istirahat itu saya melihat ada Gerbang besar yang megahhhhh banget, di depannya ada kereta kencana yang dilapisi emas yang sudah siap mengantar saya ke istana.
Saya: Apa brew....... kamu ngigau ya,'' kataku saat itu. (Akupun coba melihat ke atas dengan secermat-cermatnya. Tapi yang kulihat hanyalah bongkahan batu besar yang cukup terjal saja, istana? Kereta kencana? ahh mana ada gumamku).
Brew: ia bener, tuh dia ngawe-awe aku pak mister, ayook kita kesana.

Cerita Horor dimulai dari Pos II

Bergegaslah kami menuju Shelter II yang sudah di depan mata. Langkah temanku tidak selunglai tadi dia sangat semangat sekali untuk sampai di Shelter II. Benar saja hanya hitungan menit kamipun sampai juga di Shelter II. Temanku serta merta meninggalkan saya dan naik di atas bongkahan batu yang ada di shelter II. Dia memejamkan mata sambil duduk seolah seperti orang yang naik kereta dengan mengendalikan kudanya. Akhirya aku minta teman-temanku untuk melanjutkan perjalanannya kembali dan meninggalkan kami di Shelter II. Saya hanya berpesan tolong tunggu saya di Pasar Bubrah kataku kepada teman-teman.

Kemudian aku dekati kembali temanku,
Saya: Brew ayoo lanjut ke Pasar Bubrah,'' kataku.
Brew: Bentar pak mister ini aku lagi jalan menuju istana nihh
Saya: (Jalan ke istana........ gimana dia jalan orang dia juga duduk begitu kataku dalam hati). Jalan kemana Brew....
Brew: Udah hayuukk ikut aku naik kereta sini cepetan, biar cepat sampai ke istana di atas sana.
Saya: Ngawur kamu brew, mana ada istana di sini, watu gajah yang ada bukan istana brew. (Jadi pusing sendiri, antara sedikit ketakutan, merinding dan penasaran pada temenku yang satu ini, namun akhirnya aku nurut saja sama dia selama dia berjalan pada jalan yang benar dan masih pada jalurnya)
Brew: Endak ngawur pak mister, ayo cepat naik.
Saya: Ia ia aku naik...

Dari shelter II dia berfikir naik kereta kencana untuk menuju Pasar Bubrah. Aku menyadari si Brew ada dalam kendali indra ke 6 nya dan aku berusaha untuk memback up dia dan ada rasa sedikit penasaran apa yang akan terjadi nantinya. Kamipun berjalan dengan ritme yang tidak seperti biasanya, ini lebih cepat dari yang sebelumnya. Dengan tatapan yang kosong kulihat si brew tetap berjalan tanpa memperdulikan teman - teman pendaki lain yang kami dahului. Sesekali aku yang menyapa kepada pendaki lain yang kami lalui. Shelter III pun hanya berapa menit untuk kami lewati. Kulihat temanku yang satu ini biasa-biasa saja tidak ada expresi wajah kelelahan sedikitpun, bahkan keringatnya pun hampir tidak ada saya lihat. Sementara saya, sudah tersengal-sengal jalan membuntuti dia, dan sesekali dia menarik tanganku untuk mengajak melangkah lebih cepat lagi.

Akhirnya dari Shelter II sampai ke Pasar Bubrah kami tempuh hanya 20 - 30 menitan malam itu. Akhirnya tepat pukul 12:00 malam kami sampai di Pasar Bubrah. Tiba-tiba temanku berhenti tepat di tugu Memorial setelah watu gajah. Sementara teman-teman saya yang lain saya rasa sudah sampai di Pasar bubrah sebelumnya dan sudah membangun tenda untuk istirahat kami. 
Brew: Pak Mister, coba lihat di bawah sana... Istananya sangat megah dan banyak sekali penduduk yang berlalu lalang di halaman istana.
Saya: Haaaaa... mana Brew... itu mah tenda para pendaki yang beristirahat di sana bukan istana.
Brew: Kok pak mister ki ngeyel... itu loh banyak juga yang jualan juga disana.
Saya: Aduuuuhhhhh aduuuuuhhh (sambil tepuk jidat, akirnya aku iyakan saja wes dari pada terjadi perdebatan nanti)
Pasar Bubrah Merapi
Akhirnya aku memanggil-panggil temanku yang sudah terlebih dahulu sampai dan sudah membangunkan tenda buat kami. Sayapun juga tidak bilang dengan apa yang kami alami saat ini kepada teman-teman agar tidak membuat rasa panik diantara rombongan kami. Sejauh masih wajar aku sendiri yang akan menghandlenya gumamku saat itu. Bukan sok bisa, namun akan lebih berbahaya jika si brew tidak bisa terkendalikan waktu itu. 

Akhirnya kami masuklah tenda untuk kami beristirahat dengan salah satu temanku mas Raden. Kami bertiga masuk dalam tenda dan siap-siap untuk istirahat tidur, karena memang waktu yang sudah larut malam. Aku sengaja tidak segera tidur dengan memakan camilan dan minum air putih yang super dingin malam itu. Kulihat kedua temanku nampaknya juga susah tidur malam itu. Akhirnya merebahkan badannku juga dan rasa kantuk itu menyihirku. Meski tidur-tidur ayam sesekali aku terbangun saat melihat temanku si raden membangunkan si brew dalam percakapannya
Raden; Brew denger suara kayak suara kendang gak?
Brew: Loh kok sama, aku baru mau nanya ke kamu Den.
Raden: Kayaknya kok deket sekali ya...
Brew: ia ki..yuk coba kita keluar yokk

Akhirnya kedua temenku tersebut membangunkan saya meskipun dari tadi saya juga mendengarkan percakapannya. 
Saya: Pada mau kemana kok buka tenda ki..masih jam setengah tiga ini lohh, sun rise masih lama
Raden: Mister tidak dengan suara kendang dari ujung sana?
Saya: Kendang?? Oh mungkin orang yang lagi maulutan dibawah sana mas Raden.
Brew: Iyo pak mister, aku juga krungu loh, jelas banget kok dari ujung sana.
Saya: Ora-ora, wes rasah do macem-macem lah, istirahat sek penak toh, biar besok saat summit ke puncak bisa fresh tubuh kita.

Akhirnya kamipun istirahat kembali, malam itu, namun tidak lama kemudia, giliran si Brew yang bangun dan membangunkan si Raden. 
Brew: Den, kayak ada orang jualan ya, rame banget sekitar kita.
Raden: Ia mas aku juga dengar, eh ada suara klenengan karo sinden nyanyi juga rik brew.
Brew: Eh ia... opo ayo kita keluar yuk pak mister gen turu dewe awakke dewe metu rasah pamit.
Raden: Gitu juga boleh, tapi alon-alon metune yoh jangan sampai mister bangun
Brew: ia, siyappp

Saat mereka membuka tenda, aku pun bangun karena merasa ada sesuatu yang akan dilakukan diluar nalar mereka. 
Saya: Ehhh arep kemana kalian, Masih jam 3 ini loh kok pada mau keluar saja. Apa tidak dingin toh?
Brew: Ora pak mister, aslinya kamu dengar klenengan gak toh, di sekitar kita itu banyak orang jualan mau ikut keluar dan beli jajanan tidak?
Raden: Iyo mas, ayo keluar.
Saya: Husssshhhh kalian ki lohh ora usah macem-macem di Merapi. Cukup jadi pengetahuanmu saja
Brew: Ora macem-macem pak mister, ini sungguhan kok.
Raden: Ia mas, aku juga denger kok, ayolah kita keluar bareng.

Serta merta teman saya Raden keluar bersama brew dan berdiri di depan tenda. Entah apa yang ia lihat aku sendiri tidak tahu. Akhirnya saking penasaran aku juga ikut keluar dan apa yang terjadi, ternyata diluar hanya gelap dengan suara dengkuran orang-orang yang tidur di sebelah tenda kami. Akupun mengajak masuk Brew dan Raden dan merekapun ikut kembali kedalam tenda.

Akupun mulai bertanya
Saya: Apa yang kalian lihat di luar tadi
Raden: Aku lihat sinden yang sedang bernyanyi dan menari di sela-sela gamelan yang ditabuhkan
Brew: Aku lihat juga itu, tapi ada juga nenek-nenek banyak yang jualan dan banyak juga pembelinya
Saya: Waduuuuhhhhh....Kalian itu ternyata punya kelebihan yang sama, dan bisa melihat sesuatu yang orang awam tidak bisa melihatnya.

Akhirnya kamipun sepakat buat istirahat dengan pikiran kami masing. Aku hanya berfikir bahwa orang yang mempunyai kelebihan Indigo itu begitu paham dengan sisi sekitar kita, bahkan membaca pikiran kitapun bisa meski hanya dengan memyentuh tangan atau menatap mata kita. Mungkin dalam benak mereka adalah seisi alam di sekitar mereka bisa melihat penampakan dari ciptaan Allah yang berkarakter jahat ataupun berkarakter baik yang seraya juga hidup di sekitar kita. 

Watu Gajah yang seperti Kerangka Kepala Manusia
Semua kita kembalikan kepada sang Khaliq dan saya sendiri juga mempercayai bahwa setan dan jin adalah mahluk yang diciptakan Allah untuk menghuni di dunia ini. Hanya saja bagaimana kita menyikapi perbedaan alam yang kita tempatilah yang sudah selayaknya menjadi bahan renungan buat kita. 

Comments


EmoticonEmoticon